Pengelolaan Hutan Rakyat Wonosadi Dusun Duren Desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul
Hutan rakyat
adalah istilah yang popular diberikan oleh ahli-ahli kehutanan sejak dua atau
tiga dasa warsa terakhir. Nama hutan rakyat muncul sebagai sisi lain dari hutan
negara yang tumbuh di atas lahan milik negara. Di dalam UUPK no 5/67 dikenal
dua istilah hutan yaitu hutan negara dan hutan milik. Rupanya hutan rakyat
diperuntukan sebagai sinonim dari kata hutan milik tersebut. Sedikit berbeda
bahwa dalam UUPK 41/99 istilah hutan milik tidak dijumpai lagi, diganti dengan
hutan hak sebagai sisi yang lain dari hutan negara. Pada dasarnya hutan rakyat
adalah hutan yang tumbuh di lahan milik dikelola dan dikuasai sepenuhnya oleh
pemiliknya atau oleh rakyat.
Kawasan
hutan “Wonosidi” ditunjuk sebagai lokasi Praktek Lapangan Praktikum Pengelolaan
Hutan Rakyat tahun ini. Kawasan hutan ini berada di Dusun Duren, Desa Beji,
Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul. Jarak kawasan ini kurang lebih 35 km dari kota Wonosari ke arah utara.
Hingga sekarang, hutan ini masih terjaga kelestariannya. Berbagai flora dan
fauna serta batu-batu alam berukuran besar hasil letusan Gunung Merapi terdapat
di sini. Musim kemarau tidak membawa masalah bagi masyarakat Desa Wonosadi
karena jaminan air bersih tetap ada. Predikat Zamrud di Gunung Kidul pun
diberikan kepada kawasan ini.
Pemilihan kawasan ini sebagai tempat Praktek
Pengelolaan Hutan Rakyat karena tingginya kepedulian masyarakat local terhadap
kelestarian hutannya. Menurut cerita yang beredar hal ini disebabkan masih
kuatnya kearifan lokal masyrakatnya. Masih ada beberapa upacara adat yang
menjunjung tinggi nilai kelestarian alam yang kemudian menimbulkan hukum adat
masyarakat. Hukum adat itu misalnya jika seseorang mengambil/ menebang pohon di
kawasan hutan Wonosadi maka orang tersebut akan mendapatkan celaka.
Ketekunan
masyarakat dalam pelestarian lingkungan telah menjadikan Hutan Adat Wonosadi sebagai
kenyamanan bagi aneka flora dan fauna. Hutan seluas 25 hektar di Desa Beji,
Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul. Ini menarik dijadikan laboratorium alam,
setelah sebelumnya kawasan ini diresmikan sebagai desa wisata, karena di sana
ada puluhan jenis tumbuhan dan hewan langka. Mereka hidup nyaman dalam
rimbunnya pepohonan yang di antaranya telah berusia ratusan tahun.
Menelusuri
hingga puncak Hutan Wonosadi akan mendapati sejumlah pohon tua berusia lebih
dari 200 tahun. Di sekitar hutan, bebatuan vulkanik dari gunung api purba
menjadi daya tarik kawasan ini sebagai desa wisata. Kita juga dapat menikmati
pegunungan pandang di sisi kanan saat hendak turun dari puncak. Selain itu,
rangkaian bukit-bukit karst yang terlihat saat melangkah semakin turun menambah
bervariasinya nilai estetika di sana.
Hingga
sekarang, masyarakat masih memercayai bahwa Hutan Wonosadi mempunyai nilai
keramat. Hal itu ditandai dengan masih beredarnya cerita masa lalu yang
turun-temurun hingga sekarang. Cerita berawal dari Onggoloco, yaitu putra salah
seorang selir Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit yang melarikan diri
dari kejaran pasukan Kerajaan Demak, pernah bertapa di kawasan Hutan Wonosadi.
Onggoloco dikenal memiliki ilmu kebatinan tinggi. Dalam pertapaannya, Onggoloco
membuat hutan supaya penduduk setempat tak kekurangan air lagi. Cerita itu
memunculkan penamaan hutan ini, di mana Wonosadi berasal dari kata
"wono" yang berarti “alas/Hutan” dan "sadi" yang mengandung
arti “sandi/rahasia”. Ceritanya hingga saat ini rahasia sandi tersebut belum
terungkap.
Cerita
sejarah masa lalu tersebut telah mewariskan sebuah kawasan hutan dengan tingkat
biodiversitas tinggi. Sayangnya ada tahun 1965 hutan ini sempat mengalami penebangan
besar-besaran oleh kalangan tak dikenal. Pengrusakan tersebut hingga kini masih
menjadi misteri entah siapa yang sudah melakukannya dan dengan misi apa mereka
melakukan pengrusakan. Ternyata kejadian tersebut tidak membawa masyarakat
dalam suasana duka berkepanjangan. Masyarakat beramai-ramai kembali menanami
pohon setahun kemudian atau tepatnya tahun 1966. Hasilnya, Hutan Adat Wonosadi
kembali rimbun.
Mengetahui
cerita tersebut, pemerintah tidak tinggal diam. Pemeriantah saat itu ikut takut
jika Hutan Wonosadi kembali rusak akibat ulah orang-orang yang serakah. Akhirnya
pada tahun1977 pemerintah mengambil sikap berawal dari pemikiran bagaimana
caranya agar masyarakat tidak menebang hutan Wonosadi itu, karena pemerintah
sadar bahwa masyarakat pastinya akan membutuhkan kayu. Pemikiran tersebut
melahirkan ide pembebasan tanah milik negara yang dialihtangakan kepada
masyarakat. Masyarakat diijinkan menebang kayu dengan syarat masyarakat menanam
pohon di kawasan alih tangan tadi. Jadi masyarakat menebang kayu di luar kawasan
25 hektar Hutan Inti Wonosadi yang sekarang sudah menjadi kawasan milik mereka
sendiri.
Hutan
seluas 25 hektar sebagai hutan kawasan inti oleh masyarakat dinamakan hutan
konservasi. Penanaman tahun 1966 murni penanaman dari masyarakat, sedangkan
yang tahun 1977 adalah buah karya dengan pemerintah. Kawasan di luar 25 hektar
tersebut oleh masyrakat dinamakan kawasan penyangga. Kawasan peyangga juga
dinamakan kawasan “oro-oro” yang berarti kawasan pemberian dari pemerintah
sebagai penghargaan untuk masyarakat agar tetap melestarikan lingkungan.
Hingga
tahun 1998 kondisi kepemilikan dan kondisi pengelolaan tidak berubah. Kawasan
juga masih terbagi menjadi dua yaitu hutan konservasi dan hutan peyangga. Tahun
1997 juga tidak ada perubahan pada hal penentuan kawasan. Tahun 1997 yang
berubah adalah semakin berkembangnya pengelolaan hutan. Tahun tersebut bisa
dibilang sebagai awal mula kesadaran masyarakat untuk melakukan pengorganisiran
sebagai upaya untuk mengamankan hutan.
Tahun
1997 pemerintah membantu masyarakat dengan membagikan bibit gratis. Saat itu
program ini dinamakan program penghijauan. Mulai memasuki tahun 2000
pengelolaan hutan semakin berkembang. Pembentukan kelompok tani dan jagawana
pun mengikuti perkembangan pengelolaan hutan rakyat tersebut.
Ceritanya
yang pertama terbentuk adalah jagawana Ngudi Lestari, berlanjut kelompok tani
Sumber Rejeki dan yang terakhir pengurus hutan rakyat tingkat desa yang dinamai
Bala Dewi. Ketiganya mempunya peran dan tugasnya masing-masing. Jagawana
menjaga hutan dari gangguan langsung. Kelompok tani sebagi sebuah wadah
penyaluran aspirasi dan sebagai media pembelajaran bersama dalam pengelolaan
hutan, sedangkan Bala Dewi sebagai penentu kebijakan dan membuka jaringan
dengan pihak luar.
Tahun
2012, Balai Dewi mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar 500 juta sebagai
wujud kepedulian pemerintah untuk mendukung Hutan Wonosadi dijadikan ekowisata
dan hutan laboratorium. Hal itu ditinjau dari kayanya nilai keaneragam hayati
di Hutan Wonosadi. Buktinya masih ada pohon yang berusia lebih dari 500 tahun
dan berkeliaran hewan-hewan seperti monyet serta kijang. Selain itu, daya tarik
yang lain yaitu dari factor kebudayaan daerah. Masyarakat lokal hingga sekarang
tetap mempertahankan dan melaksanakan upacara adat setiap tahunnya sebagai
ucapan rasa syukur atas kelestarian hutan sehingga sawah dan ladang hingga
keperluan sehari-hari dari air tidak kurang.
Penyaluran
bantuan dari pemerintah tersebut tidak turun dalam satu waktu, tetapi aka nada
tiga termin. Saat ini masyarakat sudah ada bayangan uang 500 juta akan
dimanfaatkan untuk apa, diantaranya untuk mebeli kambing, pembuatan posko,
perbaikan jalan, dan pembuatan gardu pandang. Semua itu merupakan bentuk
pembangunan untuk mendukung fasilitas kenyamanan bagi pengunjung wilayah
ekowisata.
Saat
ini masyarakat mengharapkan pendampingan dan penyuluan dari semua pihak yang
bersedia membantu demi suksesnya ekowisata Hutan Wonosadi. Masyarakat menyadari
bahwa mereka masih minim pengetahuan tentang ekowisata dan strategi
pengembangannya.
Sumber daya Hutan Wonosadi memiliki berbagai aspek yang
menguntungkan bagi masyarakat. Aspek-aspek tersebut meliputi aspek ekologi yang
mendukung aspek ekonomi dan aspek psychology bagi masyarakatnya. Kawasan hutan
konservasi dan penyangga telah berperan dengan baik dimana aspek ekologi,
ekonim dan pshycology saling berkaitan.
Aspek ekologi yaitu bahwa
Hutan Wonosadi memiliki nilai biodiversity yang tinggi dan kaya baik flora
maupun fauna yang berada di sana. Salah satu manfaat yang dirasakan hingga kini
oleh masyarakat adalah sebagai sumber air bersih maupun sumber irigasi sawah.
Dari kawasan konservasi ini ternyata efek sumber air tidak hanya diraskan oleh
Desa Beji, melainkan dirasakan oleh desa tetangga yang kemudian ikut
memanfaatkan air yang bersumber dari kawasan konservasi ini.
Air yang tidak pernah surut
semakin memudahkan masyrakat untuk mengembangkan pertaniannya karena didukung dengan
irigasi yang baik. Kawasan penyanngga tentunya yang juga masih terpengaruh oleh
kawasan konservasi yang letaknya berdampingan , ternyata selama ini menjadi
andalan ekonomi masyarakat di mana ditanami tegakan Mahoni, Jati, dan Akasia.
Tegakan-tegakan tersebut
menjadi andalan perekonomian masyarakat. Di kala membutuhkan uang maka
masyarakat tinggal mengambil uang di bank alamiah dengan cara menjual kayu yang
berasal dari tegakan tersebut.
Dari aspek pshycology yaitu,
indahnya hutan dan terjaganya kelestarian meningkatkan mental masyrakat karena
mereka merasa bangga telah berhasil mengubah daerah yang tandus menjadi
bentangan kawasan hijau yang memiliki nilai estetika tinggi. Masyarakat semakin
percaya diri untuk berkomunikasi dengan pihak luar. Keuntungan dari hal ini
adalah sumber daya manusia akan semakin meningkat karena informasi masuk dan
keluar dengan baik.
Pendapatan masyarakat Dusun Duren sangat
tergantung dari hutan. Terbukti dari wawancara kuosioner Analisis Livelihood
sebagian besar masyrakat berpekerjaan pokok petani. Pak Wardi mempunyai
pekerjaan harian sebagai Kepala Kadus Dusun Duren Desa Beji. Gaji sebagai kadus
sebesar Rp 750.00,-/ bulan. Gaji sebesar itu tidak seberapa kalau dibandingkan
dengan pendapatnnya dari peternakan dan pertanian. Dari pertanian, Pak Wardi
setiap bulannya mendapatkan Rp 3.100.000,-/ bulan kalau tegakannya diuangkan,
sedangkan dari peternakan Rp 1.000.000/ bulan.
Hampir setiap kepala keluarga (KK)
memiliki kepemilikan lahan hutan. Lahan hutan tersebut telah menjadi andalan
bagi masyarakat. Dalam pengakuannya masyarakat tidak memegang uang cast , tetapi kalau diuangkan tegakan
dari masyarakat memiliki harga yang tinggi.
Masyarakat sudah menyatu dengan alam.
Hutan Rakyat Wonosadi ruask, maka bisa dijamin masyarakat akan kehilangan
sumber pendapatan utamanya. Alasan tersebut sudah disadari oleh masyarakat. Dampak
positifnya secara tidak langsung masyarakat ikut mlestarikan alam.
Tipe klasifikasi agroforestry di wilayah
ini adalah agrosilvopastura. Hutan juga menyumbangkan kebutuhan pangan
peternakan warga. Hampir setiap warga mempunyai hewan ternak. Hewan ternak ini
telah menyumbangkan pendapatan masyarakat yang tidak sedikit.
Selain hasil dari hutan berupa kayu yang
bercirikan pada penjualan hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan akan uang
tunai, ternyata hutan rakyat ini juga untuk pemenuhan pangan keluarga dimana
ada tanaman pangan di antara tegakan pohon kayu. Tipe agroforestry ini
berdasarkan social-ekonomi termasuk dalam sistem semi komersial. Hal inilah
yang menguatkan masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian hutan. Apabila hutan
rusak, maka masyarakat kehilangan segalanya.
Sorot mata kebahagian tergambar dari
masyarakat di saat hutannya lestari. Mereka dengan bangga menceritakan apa yang
alam berikan kepada mereka. Sesaat kemudian muka mereka berubah lesu ketika
bercerita tentang bayangan Hutan Wonosadi rusak. Hal ini yang tidak diinginkan
oleh masyarakat. Kebahagian mereka hanyalah memiliki hutan yang lestari, ketika
hal itu diambil oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab habis sudah
kebahagiaan mereka.
Antara tahun 1966-1997 pengelolaan
kelembagaan di Hutan Rakyat Wonosadi belum terbentuk kelembagaan yang modern.
Waktu itu masyarakat sudah kompak bersama-sama membangun hutan, tetapi belum
terstruktur dengan baik. Sampai dengan tahun 1997 koordinasi kegiatan dipegang
oleh pak kadus dan orang yang dituakan.
Peran pak kadus jelas sebagai penyalur
aspirasi dan penyalur informasi dari desa. Peran orang yang dituakan lebih
kepada peran spiritual. Pemimpin dalam upacara adat dan orang yang paling
mengetahui tentang seluk-beluk Hutan Wonosadi adalah orang yang dituakan
ini. Posisinya sangat dihargai ketika
membicarakan mau disepertiapakan Hutan Wonosadi ini.
Pada saat menginjak tahun 1997, ada
sedikit perubahan dalam hal organisir masa. Saat itu masyarakat menginginkan
sebuah bentuk/ wadah bersama untuk pengelolaan Hutan Wonosadi. Hal itu dipicu
oleh adanya Jagawana Ngudi Lestari, dimana para jagawana mendapatkan penyuluhan
dan bantuan dari pemerintah, sedangkan masyarakat di luar jagawana tidak. Masyarakat
di luar keanggotaan jagawana iri atas pengetahuan pengelolaan hutan yang
jagawana dapatkan. Inilah awal mula keinginan untuk membentuk lembaga sebagai
wadah berbagi informasi pengelolaan hutan.
Akhirnya masyarakat bersepakat membentuk
Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) Sumber Rejeki. Dari namanya mengandung arti
tempat sumbernya rejeki, tidak lain tidak bukan rejeki yang datang dari
pemanfaatan sumberdaya hutan. Munculnya nama ini belum terdeteksi atas usulan
siapa.
Sebelum pembenetukan KTHR Sumber Rejeki
ini sebenarnya masyarakat sudah cukup tahu mengenai pengelolaan hutan rakyat. Masyarakat
mandiri mencari informasi mengenai ilmu pengelolaan hutan dari mulut ke mulut. Dengan
adanya KTHR ini masyarakat banyak berharap akan mendapatkan keuntungan.
Perkembangan pengelolaan hutan rakyat
sejak 1966-2012 di kawasan ini menurut saya mengalami kemajuan yang signifikan
dan kemajuan yang bertahap. Dari sekedar asal menanam dengan prinsip
konservatif, menanam pohon kayu agar hasilnya dapat dijual, dan sekrang beranjak
pemikiran “ekowisata”. Semuanya ini karena adanya semangat dan kesadaran
masyarakat untuk mempertahankan hidup yang berdampingan dengan alam.
Setelah terbentuknya KTHR Sumber Rejeki
pelan-pelan masyarakat membuka diri kepada pihak luar. Penyuluhan dan bantuan perlahan-lahan
didaptakan oleh masyarakat. Tentunya ini menguntungkan bagi masyarakat. KTHR
Sumber Rejeki juga semakin berkembang dan dikenal oleh masyarakat luar.
KTHR ini memiliki asset traktor 1 buah,
pupuk 3 ton, alat penyemprot hama 4 buah, dan 2 buah penggilingan padi manual. Monografi
dan aturan kelompok pun sudah ada. Semuanya ini berkat lancarnya pertemuan
rutin kelompok yang diselenggarakan 35 hari sekali.
Meningkat ke hal yang lebih modern,
kelompok ini sudah mempunyai AD/ ART kelompok. Sayangnya pengurusan surat akta
organisasi belum selesai. Pengurus sudah mengusahakan, tetapi mereka mengalami
kebuntuan. Kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai pengurusan akta menjadi
penyebab utamanya. Hal ini yang menyebabkan kelompok ini belum tersertifikasi.
Tahun 2012 ini, masyarakat mendapatkan
bantuan sebesar 500 juta rupiah dari pemerintah guna pengelolan ekowisata. Bantuan
ini diterima atas nama kelompok tani tingkat desa yaitu Bala Dewi, sedangkan
Bala Dewi sendiri orang-orangnya juga berasal dari KTHR Sumber Rejeki. Dengan
demikian penyaluran dana itu disalurkan juga ke KTHR Sumber Rejeki. Sebenarnya
dana tersebut memang ditujuakan kepada KTHR Sumber Rejeki, tetapi karena
permasalahan akta hal itu yang menyebabkan dana diterima atas nama KTHR Bala
Dewi.
Sususan struktur organisasi KTHR Sumber
Rejeki sudah cukup lengkap. Divisi jagawana dan konservasi juga sudah masuk ke dalam
struktur organisasi. Pelindung juga mengikutkan dari struktur administrasi
desa. Permasalahannya adalah program kerja belum terbentuk secara tersetruktur.
Pertemuan rutin menjadi media yang
paling efektif dalam mengambil kebijakan dan pembuatan program kerja. Melalui
pertemuan ini anggota dan pengurus berbagi aspirasi dan informasi. Pertemuan
rutin inilah yang menghidupi jalannya roda organisasi. Konflik belum terlihat
karena kami tidak inten mencari informasi mengenai konflik.
Kelembagaan dan pengelolaan Hutan Rakyat
Wonosadi sudah berjalan dengan baik. Masyarakat Dusun Duren kehidupannya sangat
bergantung kepada Hutan Rakyat Wonosadi baik hutan konservasi maupun hutan
penyangganya. Hutan telah memberikan manfaat yang banyak dan tak terhitung jumlahnya.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi hutan juga sudah dipahami oleh
masyarakat, sehingga upaya kelestarian hutan di sana berjalan dengan baik.
Sarannya yaitu ada pihak luar yang
membantu mengatasi permasalahan administrasi dalam hal ini akta organisasi dan
membantu menyusun program kerja. Seperti program kerja dalam waktu dekat ini
mengenai ekowisata bisa berjalan dengan baik dan optimal. Dana sebesar itu
seandainya dalam penyusunan program tidak tepat maka yang terjadi dana akan
terbuang dengan sia-sia dan hasil yang didaptkan minim.
Referensi
Djuwadi, 2002. Pengusahaan Hutan Rakyat. Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Widayanti, Wahyu
Tri, 2011/2012. Panduan Praktikum
Pengelolaan Hutan Rakyat. Bagian Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada
Comments
Post a Comment