Aplikasi RIL di Indonesia
Oleh : Khamdan
Primandaru
APLIKASI RIL DI INDONESIA
|
Hutan merupakan bagian dari bentangan yang ada
di muka bumi. Luasan hutan di dunia mencapai 4 miliar hektar. Sedangkan luas
hutan di Indonesia adalah 93, 92 juta hektar. Artinya hutan di Indonesia menyumbangkan
sekitar ¼ persen luasan hutan yang ada di dunia.
Luas
total daratan di indonesia kurang lebih mencapai 138 juta hektar. Sedangkan
luas hutan sebesar 93,92 juta hektar. Hal itu memberikan gambaran bahwa sekitar
2/3 persen lebih daratan Indonesia tertutup hutan.
Dari
93, 92 juta hektar yang ada terbagi atas beberapa kawasan, yaitu : 1) Hutan
Lindung seluas 22,10 juta hektar (23,53 %); 2) Hutan konservasi seluas 14,37
juta hektar (15,29 %); 3) Hutan produksi seluas 49,49 juta hektar (52,70 %) dan
Areal penggunaan lain seluas 7,96 juta hektar (8,47 %). Arahan pengelolaan
sebagian besar untuk hutan produksi.
Paradigma
sistem pengelolaan hutan sudah muncul sejak lama. Tonggak kelahiran ilmu
pengelolaan hutan secara formal muncul di Prancis pada tahun 1376 yaitu
ditandai dengan Ordonansi melun ( Ordonance
de Melun ) dan Akta Hutan ( Forest Act ) tahun 1482 dan 1543 di Inggris.
Sejalan dengan waktu pengelolaan hutan semakin berkembang.
Luasnya
areal hutan produksi di Indonesia berdampak pada berkembangnya system
pengelolaan atau system silvikultur di kawasan tersebut. Hal itu dikarenakan
penyesuaian dengan kondisi hutanya dimana jelas bahwa kondisi hutan semakin
terpuruk. Banyak kawasan hutan di luar jawa yang sebagian besar dialihfungsikan
sebagai kawasan produksi kehilangan perannya sebagai kawasan penyangga dan
lindung karena hutannya yang rusak.
Semakin
meningkatnya luasan kawasan produksi dipengaruhi oleh makin meningkatnya HPH
(Hak Pengusahaan Hutan). Meningkatnya HPH berada pada era Orde Baru (1967-1997).
Kebijakan pemerintah Orde Baru memberikan izin pengusahaan kepada pemegang Hak
Penusahaan Hutan (HPH) menandai babak baru system eksplorasi hutan alam tropic
di luar Jawa yang dimulai secara menyeluruh pada 1968. Sampai tahun 2000 jumlah
HPH di Indonesia mencapai sekitar 600 unit dengan total hutan produksi seluas
64 juta hektar. Dari kegiatan eksplorasi oleh HPH tersebut pada 1985 terjadi
kerusakan hutan (deforestrasi) sebesar antara 600.000-1,2 juta hektar per tahun
(World Bank, 1988a, 1988b; Scoot, 1985 dalam Awang 2005).
Dengan
semakin banyaknya jumlah unit HPH yang beroperasi di Indonesia maka jumlah kayu
yang ditebang juga semakin meningkat. Pada periode 1960-1965 sebanyak 2,5 juta
meter kubik log ditebang, pada 1970 sebanyak 10 juta meter kubik log ditebang,
dan pada 1987 log yang ditebang meningkat menjadi 26 juta meter kubik (Gillis,
1988:54 dalam Awang 2005). Dengan gambaran seperti ini maka deforestrasi dan
degradasi hutan tidak dapat dihindarkan. Timbullah pertanyaan apakah system
pengelolaan hutannya yang salah atau para pengelolanya yang tidak mematuhi
aturan pengelolaan ?
Sejenak
kita mengesampingkan persoalan kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia dan
politik yang bergulir di Indonesia dalam menyikapi paper ini. Paper ini akan mencoba
menyampaikan tentang system pengelolaan hutan di Indonesia dalam hal ini Reduce
Impac Logging dari sudut pandangnya penulis. Artinya kita membayangkan bahwa
kasus ini berada pada suatu kawasan yang bebas tanpa politik dan kebijakan,
tetapi ada system dalam pengelolaan hutan guna mencapai keadaan masyarakat yang
sejahtera dan kelestarian hutan terjaga.
Mari
kita memaksakan untuk mengakui bahwa RIL adalah system terbaik dalam
pengelolaan hutan terutama hal pemanenan hutan. Saat pola piker kita sudah mengakui
bahwa RIL yang terbaik selanjutnya kita akan mencoba mengkaji sejauh mana RIL
itu berjalan dan berdampak pada system pemanenan hutan di Indonesia.
Dari
pemaparan di atas kita sudah melihat bagaimana deforestrasi dan degradasi
begitu digdaya di Negara kita tercinta. Eksplorasi HPH dengan singkat menyulap
kondisi hutan di Indonesia masa Orde Baru dengan salah satu bentuknya yaitu HPH
yang meninggalkan begitu saja kawasannya yang rusak dengan dalih massa
konsesinya habis ibarat “habis manis sepah dibuang.” Kejadian-kejadian tersebut
yang mulai memunculkan system pemanenan dengan RIL beralih dari system
konvensional.
Kepanjangan
RIL sendiri adalah Reduced Impact Logging
atau arti bahasa Indonesianya pembalakan/ pemanenan ramah lingkungan. Pembalakan
ramah lingkungan (RIL) dimaknai sebagai teknik pembalakan yang direncanakan
secara intensif dengan sistem operasi lapangan menggunakan teknik pelaksanaan
dan peralatan yang tepat serta diawasi secara terpadu untuk meminimalkan
kerusakan tanah maupun kerusakan tegakan tinggal (Nugraha dkk, 2007). RIL
merupakan penyempurnaan praktek pembuatan jalan, penebangan dan penyaradan yang
saat ini sudah ada. RIL juga memerlukan wawasan kedepan dan ketrampilan yang
baik dari para operatornya serta adanya kebijakan/ policy tentang lingkungan
yang mendukungnya (Elias, 2011).
Dalam TPTI
(Tebang Pilih Tanam Indonesia) sebagai system pengelolaan dan pemanenan hutan
alam di Indonesia RIL ini sudah mulai direkomendasikan. Itu artinya RIL muncul
di Indonesia setelah jatuhnya rezim Orde Baru (1967-1997). Di Indonesia sendiri penerapan RIL sebagai
bentuk penelitian atau percobaan penerapan dilakukan setelah di negara Brazil,
Suriname, dan Australia.
Sebelum
muncul RIL system pemanenan hutan disebut sebagai system konvensional. Sistem
konvensional tidak ada patokan yang pasti seperti apa, tetapi sejalnnya dengan
waktu system ini terus berubah dan berkembang dengan tujuan produksi jual kayu.
Saat di Indonesia memasuki era Orde Baru system pengelolaan pemanenan hutan di
Indonesia mengalami massa terburuk di mana hutan alam memproduksi kayu dengan
cepatnya seperti mesin pencetak uang. Kayu keluar dari hutan dan mengapung di
perairan begitu banyak. Bisa dikataakan saat itu sungai-sungai di luar jawa
berubah menjadi daratan yang tertutup oleh log-log kayu.
Saat itu
system pemanenan di Indonesia sangat konvensional di mana hutan adalah mesin
pencetak uang dengan cara penjualan kayu. Saat para ahli dunia sedang
disibukkan dengan penelitian RIL, sedangkan di Indonesia saat pengerukan
besar-besaran hutan. Hal ini desebabkan oleh kebijakan positif untuk hutan
diindahkan. Salah satu bukti adalah 600 HPH hanya dikuasi oleh 20 pengusaha.
Artinya 600 HPH berjalan sesuai dengan keinginan 20 pengusaha. Ini sudah tidak
logis karena bias dibayangkan begitu besar kekuasaan pengusaha tersebut. Dengan
uang apapun bias dibeli tanpa mempedulikan kondisi hutan. Bagi mereka bisnis
dengan keuntungan besar lancar, sedangkan fungsi hutan tidak dipedulikan.
Massa akhir
orde baru di luar negeri system RIL mulai ditemukan. Ketika RIL memasuki
Indonesia maka RIL tidak mudah diterapkan. Ini merupakan dampak dari massa
penguasaan Orde Baru. Di mana system personality dan penguasaan sudah rusak.
Kalau pun ada itu hanya tinggal sisa. Artinya kerusakan hutan yang parah RIL
masuk di Indonesia.
RIL di
Indonesia bukan sebagai penyembuh melainkan sebagai upaya penundaan habisnya
hutan. Salah satu bukti adalah penelitian “ Dampak Pemanenan Kayu Berdampak
Rendah Terhadap Kerusakan Tegakan Tinggal di Hutan Alam (Studi Kasus di Areal
HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) tahun 2007 oleh Muhdi dan Diana
Sofia Hanafiah. Kesimpulan dari penelitian tersebuat adalah kerusakan tegakan
tinggal tingkat tiang dan pohon rata-rata per hektar akibat pemanenan kayu
teknik konvensional dan RIL masing-masing sebesar 133,0 pojon (13,15%) dan 83,3
pohon (19,53%). Berdasarkan tingkat keparahannya, maka kerusakan yang terjadi
pada petak pemanenan kayu konvensional termasuk tingkat kerusakan sedang
(25-50%) dan pemanenan kayu RIL termasuk ke dalam tingkat kerusakan ringan
(<25%).
Kalau
HPH dan kawasan produksi semakin meluas maka lambat laun hutan akan habis
walapun dengan system RIL. Karena masih ada indikasi kerusakan walapun ringan. Di
bawah ini merupakan alasan dan system RIL menurut Elias dalam Buku
pedoman Reduced Impact Logging Indonesia yang diterbitkan oleh
CIFOR Tahun 2001, yaitu :
Alasan
dengan RIL :
1.
Pengurangan resiko lingkungan dan social
2.
Ekonomi
3.
Pasar produk kehutanan
4.
Kebijakan dan peraturan yang tepat
Tahapan RIL terbagio
menurut tahun waktu pemanenan (Et):
I.
Et-3 :
1.
Penataan areal kerja
II.
Et-2 :
1.
Inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP)
2.
Survei topografi
3.
Pembuatan peta pohon dan peta kontur
4.
Perencanaan pembukaan wilayah hutan (PWH)
III.
Et-1 :
1.
Perencanaan pemanenan
2.
2. PWH
3.
Persiapan lapangan sebelum pemanenan
IV.
Et-0 :
1.
Pembukaan tempat pengumpulan kayu (TPN) dan jalan
sarad
2.
Penebangan dan pebagian batabg
3.
Pembuatan TPN dan pembuatan jalan sarad
4.
Operasi penyaradan
5.
Pembagian batang, pengulitan dan penumpukan kayu di
TPN
6.
Pengangkutan kayu
7.
Perbaikan areal pasca panen
8.
Inspeksi dan pelaporan
Sedangkan Alasan tidak jalanya RIL adalah :
1.
Kurangnya pengawasan terhadap praktek pemanenan kayu.
2.
Kurangnya ketegasan dalam pelaksanaan RIL.
3.
Kurangnya pemahaman keuntungan dan pelaksanaan RIL.
4.
Kurangnya pemahaman terhadap tahapan yang diperlukan
dalam pelaksanaan RIL dan kurangnya keahlian khusus.
Saat ini memang RIL merupakan system terbaik dalam hal
pemanenan hutan, terbukti begitu teliti dan sistematinya system ini dibuat dan
mempertimbangkan factor lingkungan. Namun untuk diterapkan di Indonesia ini
masih berat selain RIL membutuhkan modal yang besar baik pengetahuan dan uang
serta RIL juga harus didukung dengan kebijakan dan kesiapan aparatur
pemerintahan dalam hal ini sebagai fungsi pengawas dan pengambil keputusan.
Intinya RIL itu sangat baik tetapi kalau tidak
didukung pemerintahan dan kebijakan yang baik maka sebaik apapun system
pemanenannya maka akan terjadi habisnya hutan dan munculnya bencana alam. RIL
berbanding lurus dengan Sustainable
Forest Management terbuktu dari dampaknya yang ringan. Tidak ada system
pemanenan yang berdampak % 0, yang ada hanya memperkecil. Namun untuk kasus di
Indonesia bukan masalah system RILnya melainkan kebijakannya.
Ternyata kita tidak bisa melepas atau menutup mata
atau mengindahkan pola pikir pengelolaan dan system dari kebijakan suatu
Negara. Artinya setiap Negara mempunyai permasalahan masing-masing sesuai
dengan kebikana suatu Negara. Sistem RIL ini pun kemudian akan beradaptasi
dengan kebijkan Negara pemakainya. “Bukan
kebijkan yang mengikuti RIL tetapi RIL yang mengikuti kebijakan.”
Daftar Pustaka :
Anonim. 2005. Wacana Edisi 20. Tahun VI 2005 : Kebijakan Kehutanan: Gagal ! Yogyakarta
: Insist Press.
Elias. 2001. Pedoman Reduced Impact Logging Indonesia. Bogor : CIFOR
Muhdi; Diana Sofia Hanafiah. 2007. Dampak Pemanenan Kayu Berdampak Rendah
Terhadap Kerusakan Tegakan Tinggal di Hutan Alam (Studi Kasus di Areal HPH PT.
Suaka Jaya Makmur, Kalimantan Barat). Tidak dipublikasikan. Departemen
Kehutanan Fakultas Pertanian USU Medan.
Nugraha,
Agung dkk. 2007 http://yphindonesia.org/index.php/publikasi/resensi-buku/63-pembalakan-ramah-lingkunga?mode=getshouts
diambil tanggal 20 Maret 2012.
Comments
Post a Comment