KPH dan Iklim Global


Indonesia merupakan negara yang mempunyai luasan hutan ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire. Deforestrasi dan degradasi hutan merupakan isu yang mendorong Indonesia sebagai salah satu penyumbang emisi karbon yang cukup signifikan.
Berdasarkan data dan hasil analisis Departemen Kehutanan, pada periode 1985-1997 deforestrasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000 terjadi peningkatan laju deforestrasi yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-2005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar. Penyebab terajadinya deforestrasi dan degradasi hutan di Indonesia ini disebabkan oleh :
-          kebakaran dan perambahan hutan
-          alih fungsi kawasan
-          illegal loging dan illegal trading
-          adanya pemakaian hutan di luar sektor kehutanan dengan sistem pinjam pakai kawasan
-          pemanenan hasil hutan yang tidak berperinsip pada PHL ( Pengelolaan Hutan Lestari).
Pemerintah mencoba mencari jalan keluar dengan permasalahan di atas dengan membentuk KPH ( Kesatuan Pengelolaan Hutan ). Hal ini dipertegas dengan beberapa undang-undang dan peraturan yang dikeluarkan. Pembangunan KPH di Indonesia telah menjadi komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat, yang telah dimandatkan melalui UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pamanfaatan Hutan, yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.
Namun dalam prakteknya KPH tidak berjalan dengan optimal. Hal ini disebabkan oleh adanya batas kawasan yang tidak jelas antar KPH dan KPH tersebut yang tidak jelas lembaga/institusinya padahal sebagai pihak yang bertanggungjawab atas pengelolaan kawasan itu.
Global Warming atau iklim global menjadi salah satu frase yang ngetop beberapa tahun belakangan. Pemanasan global diartikan sebagai pemanasan merata di permukaan bumi. ERK atau Efek Rumah Kaca (Green House Efecct) merupakan situasi yang menggambarkan betapa panasnya kondisi permukaan bumi. Proses ERK ini secara sederhana dapat digambarkan bahwa cahaya (sinar matahari) yang masuk kedalam ruang berkaca kemudian dipantulkan kembali dan ternyata tidak dapat menembus lapisan kaca tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan panas yang terakumulasi dalam ruangan sehingga udara semakin panas. Panas disini bisa dibahasakan sebagai carbon.
Salah satu penyebab ERK ini adalah semakin hilangnya hutan yang menutupi lapisan bumi dan meningkatnya emisi gas rumah kaca. Padahal hutan sebagai salah penyerap carbon. Perkembangan teknologi yang tidak diiringi dengan konsep kelestarian dengan kata lain pembangunan yang melupakan pentingnya fungsi hutan akan sangat menbahayakan bagi proses keberlangsungan kehidupan. Meningkatnya pemanasan global akibat GRK akan menimbulan masalah terhadap pola adaptasi makluk hidup pada suatu ekosistem dan terputusnya rantai makanan antar organisme yang berakibat pada menurunnya ketersediaan stok pangan dunia.
Untuk mengurangi permasalahan di atas makan perlu jalan keluar dan salah satunya adalaha mitigasi perubahan iklim. Mitigasi perubahan iklim adalah proses mengupayakan berbagai tindakan proventif untuk meminimalisasi berbagai dampak perubahan iklim yang terjadi. Terdapat 3 (tiga) kategori utama intervensi berkaitan dengan kehutanan yang dapat membantu mitigasi perubahan iklim (Roper,2001), yaitu :
1. pengelolaan sumberdaya hutan yang ada secara lebih baik;
2. memperluas penutupan hutan; dan
3. penggunaan bahan bakar kayu sebagai pengganti bahan bakar fosil.

Pengelolaan hutan secara lebih baik (penerapan PHL) yang searah dengan upaya mitigasi perubahan iklim (Roper,2001) meliputi :
1. Perbaikan kebijakan pengelolaan hutan dan pemanena serta teknologi untuk meningkatkan kapasitas hutan yang ada untuk carbon sequestration dan penyimpanan.
2. Investasi yang dapat meminimalkan deforestrasi, menjaga atau meningkatkan pertumbuhan tegakan, meminimalkan gangguan terhadap tanah dan tegakan sisa dalam pembalakan, dan menjamin tanah dan tegakan sisa dalam pembalakan, dan menjamin regenerasi yang cepat dan memuaskan.
3. Mengadopsi program-program perlindungan hutan yang dapat diterima secara sosial atau join management.

            Artinya kalau kita coba simpulkan yaitu KPH harus jelas keberadaan dan fungsinya. Kemudian kebijakan yang diambil oleh KPH salah satunya harus menyertakan mitigasi perubahan iklim. Dari dua hal di atas makan akan tercipta sebuah pengelolaan hutan yang lestari yang dapat menjamin proses keberlangsungan hidup terutama manusia.

Pustaka :
Oleh :
Khamdan Primandaru

Comments

Popular posts from this blog

Warna Pilihan

Ilmu Ikhlas, Bukan Ilmu Kebatinan

Sederhana itu Susah